Makassar, 10 Oktober
2013
Selamat sore Febiku tersayang,
Aku berharap segala limpahan
kebahagiaan menyelimutimu, seperti hangatnya sore ini. Jika saja, tak kau
dapati kehangatan, sudilah kiranya dirimu menerima doa-doaku yang serupa
pelukan, doa agar dirimu senantiasa berbahagia. Aku sendiri, wah betapa
bahagianya aku ketika hendak menuliskan surat ini untukmu. Sudah lama rasanya
kita tidak saling mengirim surat yang serupa rindu seperti ini, membuat kita
lupa akan pentingnya pertemuan. Padahal aku tahu, selain diriku, dirimupun
merasakan rindu dan keinginan untuk bertemu sangatlah kuat. Namun apalah daya
ketika jarak dengan entengnya memisahkan kita.
Sedang apakah dirimu akhir-akhir
ini, tidakkah kau merasakan adanya gejolak dalam batinmu? Belakangan ini, aku
selalu memikirkan kebersamaan kita. Apakah masih kau ingat ketika kau bercerita
mengenai lelaki yang menyukaimu itu? Kita tertawa-tawa sampai mengeluarkan air
mata saking bahagianya. Sungguh dia tahu betul apa yang menjadi kesukaanmu.
Saat itu ketika dia mengajakmu menikmati singkong rebus buatan kakaknya, kau
begitu lupa diri dengan memakan begitu banyak singkong sampai perutmu kembung
dan mengeluarkan gas. Sungguh sangat memalukan. Ketika kau bercerita mengenai
hal itu di kamarku, pipimu begitu merona, entah karena malu atau karena kau
begitu jatuh cinta, sungguh aku tak bisa membedakannya.
Oh, Febi sahabatku sayang, aku
begitu merindukan kebersamaan kita. Bercerita sampai malam gelap gulita, sampai
yang terdengar hanyalah jangkrik yang berada di halaman belakang rumahku.
Sampai kemudian suara kita lenyap ditelan kantuk yang tadinya sungguh meriah
dan ribut. Dan keesokan harinya, kita bangun kesiangan dan mendapat omelan
halus dari ibuku bahwa sesungguhnya anak gadis yang senang bangun siang itu sungguh
sangat jauh dari jodohnya.
Ibuku juga selalu menanyakanmu,
sepertinya beliau juga merindukan kehadiranmu. Dia rindu akan mengomeli anak
perempuan yang selalu menjadi teman ricuh anaknya. Beliau rindu memasak dengan
porsi dua kali lipat ketika malam minggu tiba, saat dimana kau datang meginap.
Beliau menitip peluk dan cium untukmu.
Oh iyah, aku akan sedikit
memberitahukan kepadamu perihal sesuatu yang memang pantas untuk dibagikan dan
dinikmati bersama. Kemarin, salah seorang teman membeberkan cerita mengenai
salah satu buku yang telah dibacanya. Buku yang berjudul Auntumn Once More yang
berisi kumpulan-kumpulan cerpen sebanyak 13 beserta jumlah penulis yang sama,
salah satu cerpennya tentang buku yang berjudul Critical 11. Kau tahu kan Feb,
aku selalu tergila-gila terhadap apapun tentang buku. Nah adegannya itu di took
buku, yang sempat aku tangkap dari cerita teman itu adalah bahwa toko buku itu adalah tempat paling anti
rasis dan anti gen. Alias paling bebas. Karena di toko buku, semu orang tidak di judge berdasarkan pilihan bukunya. Wah aku langsung jatuh hati
dan sangat setuju. Yah, tempat yang paling nyaman adalah toko buku, dimana
ketika kita ingin membeli tak ada seorangpun yang mengawasi seperti di toko-toko
lainnya, kita dianggap semacam pencuri saja.
Febi sayang, kuharap kau juga
setuju dengan rasa yang menghampiriku perihal buku tersebut. Dan besar
harapanku dirimu dengan senang hati membelikannya untukku, kau tahu,
akhir-akhir ini keuanganku memburuk, bahkan membeli kudapan pun aku harus berpikir
tujuh kali. Ketika mengangkat dompetku, yang terdengar hanyalah bunyi
gemerincing pertanda isinya cuma serpihan uang logam.
Sekiranya, sampai disini saja
suratku ini. Kuharap kau mempertimbangkannya. Aku begitu merindukan saat-saat
bertemu denganmu. Sampaikan salamku beserta keluarga kepada keluargamu disana
yah. Semoga kalian selalu dipeluk kebahagiaan. Kutunggu balasan suratmu.
Salam rindu,
http://diirumahkata.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment