Hidupku bahagia dan baik-baik saja sebelum hari itu
tiba. Hari itu adalah acara ulang tahunnya yang ketujuh-belas. Saat itu,
meskipun aku hanya seorang diri di pojok ruangan, tapi aku bisa melihat dengan
jelas pipi gadis itu berubah merah merona ketika menerima sebuah kotak berpita
merah muda dari ibunya. Jangankan melihatku, melirikpun tidak. Anne hanya
tersenyum sumringah memandangi kotak itu. Dan ketika kotak kado itu dibuka,
jantungku rasanya seperti terlepas dari cangkangnya. Sepasang sepatu cantik
berwarna merah dengan hak tinggi berkilau oleh cahaya lampu. Ah, pastilah Anne
menyukainya, seperti para gadis kebanyakan. Dan tentu saja aku hanya bisa
membayangkan bahwa hari-hariku selanjutnya pastilah akan terasa sepi dan
menjemukan.
Anne tidak mau lagi bermain denganku. Tidak seperti
tahun-tahun silam ketika tak ada hari tanpa aku dan Anne bersama. Aku ingat
bagaimana ia memeluku di awal pertemuan. Lalu kami bermain bersama di halaman
depan, di sekolah, di bioskop, di supermarket, di rumah nenek, bahkan aku
menemaninya saat ia dihukum oleh Pak Guru karena tidak mengerjakan PR.
Tapi sekarang, kau bisa lihat kan? Aku hanya teronggok
di sini, seorang diri tanpa ada seorangpun peduli. Atau bahkan semuanya telah
melupakanku? Benar. Mereka telah lupa keberadaanku, termasuk Anne-ku. Yang bisa
kulakukan sekarang hanyalah menunggu dan melihatnya dari jauh. Itupun hanya satu
atau dua kali.
Saat pagi hari,
misalnya, rasanya sudah lebih dari cukup bisa menatap kaki jenjangnya bergegas
menuruni tangga. Sesekali aku mendapati ia nyaris terjatuh karena terpeleset
dan sontak aku terdorong untuk menggapainya, tapi kemudian aku berpikir itu
adalah ide yang sangat bodoh. Tentu saja itu tidak mungkin. Hanya saja aku
berharap Anne bisa lebih berhati-hati dan memperhatikan langkahnya. Aku tahu
Anne adalah gadis paling manis dan jenius yang pernah kukenal. Tapi masalah
ceroboh, dia juga juaranya.
Hari itu adalah hari Rabu di musim dingin, tepat tiga
bulan semenjak hari ulangtahunnya. Kau tahu, sejak saat itu sekalipun kami tak
pernah bertatap muka. Tiba-tiba aku tak pernah membayangkan hari ini akan
datang. Tepat pagi hari setelah menyantap sarapan, Marie, ibu Anne, datang
mengahmpiriku. Tatapannya antara jijik atau curiga. Yang pasti ia terlihat
tidak senang melihatku.
“Anne,
apa kau masih memakai sepatu jelek ini?” teriak wanita itu sambil memalingkan
wajahnya dari aku ke meja makan, dimana Anne berada. Tunggu, apa yang dikatakan
wanita itu barusan. Sepatu jelek? Hei, lihat dengan baik. Badanku, hanya robek
sedikit, kok. Taliku juga masih bagus. Apa? Oh, sol ini? Ini hanya menganga
sedikit. Kau tinggal memberiku lem tekstil saja, beres.
“Sepatu
itu, ya, Ma?” Anne tepat berada di hadapanku sekarang, sedang menatapku
lamat-lamat. Dia terlihat berpikir sangat dalam. Pastilah ini keputusan berat
bagi Anne. Dia tidak mungkin membiarkanku begitu saja, terlebih
kenangan-kenangan indah yang pernah kami lewati bersama. “Buang saja, Ma. Aku
sudah nggak butuh, kok!”
A-Apa?
Anne, sungguh kau bilang apa barusan? Itu benar kau? T-tunggu! Aku memberontak
sekuat tenaga. Tapi sia-sia. Aku bisa apa? Tangan Marie yang sebesar umbi itu
telah menentengku ke suatu tempat di depan rumah. T-Tempat sampah? Tega sekali!
Di musim dingin ini aku harus berada di tempat barang-barang bekas ini?
TIDAAAAAK!
“Bisa
kau tutup mulutmu yang berisik itu? Dasar Sepatu Kets Bekas Bodoh!”
Aku
buru-buru menoleh ke pemilik suara itu. Seketika aku dibuat terkejut. Bagaimana
bisa dia juga berada di tempat sampah berbau busuk ini? Apa aku tidak salah
lihat?
"Kau
kira gadis itu waras? Seenaknya saja dia membuangku hanya karena
hak-ku patah
tanpa mau memperbaikinya terlebih dahulu. Cih!” Sepatu merah itu tersenyum
pahit. Dia, sepatu merah yang kulihat di hari ulang tahun itu. Aku baru sadar,
melihat dari dekat begini warna merah itu terlihat manis dan memukau. Tiba-tiba
sol-ku terasa bedebar.
No comments:
Post a Comment