Sunday, November 10, 2013

DIBUANG

  Hidupku bahagia dan baik-baik saja sebelum hari itu tiba. Hari itu adalah acara ulang tahunnya yang ketujuh-belas. Saat itu, meskipun aku hanya seorang diri di pojok ruangan, tapi aku bisa melihat dengan jelas pipi gadis itu berubah merah merona ketika menerima sebuah kotak berpita merah muda dari ibunya. Jangankan melihatku, melirikpun tidak. Anne hanya tersenyum sumringah memandangi kotak itu. Dan ketika kotak kado itu dibuka, jantungku rasanya seperti terlepas dari cangkangnya. Sepasang sepatu cantik berwarna merah dengan hak tinggi berkilau oleh cahaya lampu. Ah, pastilah Anne menyukainya, seperti para gadis kebanyakan. Dan tentu saja aku hanya bisa membayangkan bahwa hari-hariku selanjutnya pastilah akan terasa sepi dan menjemukan.
       Anne tidak mau lagi bermain denganku. Tidak seperti tahun-tahun silam ketika tak ada hari tanpa aku dan Anne bersama. Aku ingat bagaimana ia memeluku di awal pertemuan. Lalu kami bermain bersama di halaman depan, di sekolah, di bioskop, di supermarket, di rumah nenek, bahkan aku menemaninya saat ia dihukum oleh Pak Guru karena tidak mengerjakan PR.
       Tapi sekarang, kau bisa lihat kan? Aku hanya teronggok di sini, seorang diri tanpa ada seorangpun peduli. Atau bahkan semuanya telah melupakanku? Benar. Mereka telah lupa keberadaanku, termasuk Anne-ku. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menunggu dan melihatnya dari jauh. Itupun hanya satu atau dua kali.
       Saat  pagi hari, misalnya, rasanya sudah lebih dari cukup bisa menatap kaki jenjangnya bergegas menuruni tangga. Sesekali aku mendapati ia nyaris terjatuh karena terpeleset dan sontak aku terdorong untuk menggapainya, tapi kemudian aku berpikir itu adalah ide yang sangat bodoh. Tentu saja itu tidak mungkin. Hanya saja aku berharap Anne bisa lebih berhati-hati dan memperhatikan langkahnya. Aku tahu Anne adalah gadis paling manis dan jenius yang pernah kukenal. Tapi masalah ceroboh, dia juga juaranya.
       Hari itu adalah hari Rabu di musim dingin, tepat tiga bulan semenjak hari ulangtahunnya. Kau tahu, sejak saat itu sekalipun kami tak pernah bertatap muka. Tiba-tiba aku tak pernah membayangkan hari ini akan datang. Tepat pagi hari setelah menyantap sarapan, Marie, ibu Anne, datang mengahmpiriku. Tatapannya antara jijik atau curiga. Yang pasti ia terlihat tidak senang melihatku.
       “Anne, apa kau masih memakai sepatu jelek ini?” teriak wanita itu sambil memalingkan wajahnya dari aku ke meja makan, dimana Anne berada. Tunggu, apa yang dikatakan wanita itu barusan. Sepatu jelek? Hei, lihat dengan baik. Badanku, hanya robek sedikit, kok. Taliku juga masih bagus. Apa? Oh, sol ini? Ini hanya menganga sedikit. Kau tinggal memberiku lem tekstil saja, beres.
       “Sepatu itu, ya, Ma?” Anne tepat berada di hadapanku sekarang, sedang menatapku lamat-lamat. Dia terlihat berpikir sangat dalam. Pastilah ini keputusan berat bagi Anne. Dia tidak mungkin membiarkanku begitu saja, terlebih kenangan-kenangan indah yang pernah kami lewati bersama. “Buang saja, Ma. Aku sudah nggak butuh, kok!”
       A-Apa? Anne, sungguh kau bilang apa barusan? Itu benar kau? T-tunggu! Aku memberontak sekuat tenaga. Tapi sia-sia. Aku bisa apa? Tangan Marie yang sebesar umbi itu telah menentengku ke suatu tempat di depan rumah. T-Tempat sampah? Tega sekali! Di musim dingin ini aku harus berada di tempat barang-barang bekas ini? TIDAAAAAK!
       “Bisa kau tutup mulutmu yang berisik itu? Dasar Sepatu Kets Bekas Bodoh!”
       Aku buru-buru menoleh ke pemilik suara itu. Seketika aku dibuat terkejut. Bagaimana bisa dia juga berada di tempat sampah berbau busuk ini? Apa aku tidak salah lihat?
       "Kau kira gadis itu waras? Seenaknya saja dia membuangku hanya karena 
hak-ku patah tanpa mau memperbaikinya terlebih dahulu. Cih!” Sepatu merah itu tersenyum pahit. Dia, sepatu merah yang kulihat di hari ulang tahun itu. Aku baru sadar, melihat dari dekat begini warna merah itu terlihat manis dan memukau. Tiba-tiba sol-ku terasa bedebar.

No comments:

Post a Comment